Oleh : Hamdan Malik
Dalam tulisan sebelumnya, telah
diuraikan tentang apa itu media penyuluhan pertanian, landasan penggunaan media
penyuluhan pertanian, dan bagaimana posisi penyuluh pertanian dan media
penyuluhan pertanain.
Berikut ini akan disampaikan bagaimana pentingnya seorang
penyuluh pertanian untuk menguasai media penyuluhan pertanian, dan bagaimana
peran penyuluh pertanian dalam penyuluhan pertanian partisipatif.
Pentingnya Menguasai Media Penyuluhan Pertanian
Ada banyak cara yang dilakukan penyuluh pertanian dalam menjalankan
tugasnya sebagai komunikator pada proses penyuluhan pertanian, tetapi pernahkah
menghadapi kesulitan dalam menjelaskan suatu materi materi penyuluhan pertanian
kepada pelaku utama dan pelaku usaha; misalnya menjelaskan sesuatu yang masih
asing bagi peserta penyuluhan...?
Cara pertama; bercerita
tentang hal-hal yang belum pernah diketahui atau dialami oleh peserta penyuluhan.
Penyuluh pertanian dapat bercerita mungkin karena pengalaman, membaca buku,
cerita orang lain atau pernah melihat objek-objek itu. Apabila mereka sama
sekali belum mengetahui, belum pernah melihat objek-objek tersebut di televisi
atau melihat gambarnya di buku, betapa sulitnya menjelaskan hanya dengan
kata-kata tentang objek tersebut. Penjelasan dengan kata-kata mungkin akan
menghabiskan waktu yang lama. Pemahaman mereka akan berbeda sesuai dengan pengetahuan sebelumnya, bahkan mungkin akan
menimbulkan kesalahan persepsi.
Cara kedua; membawa mereka ke
lokasi kegiatan yang berkaitan dengan materi penyuluhan pertanian yang
disampaikannya untuk melihat obyek itu, dan menugaskan mereka melakukan
pengamatan dan wawancara. Ini lebih efektif
dibandingkan dengan cara lainnya walaupun tidak efisien, masalahnya berapa
biaya yang harus ditanggung, dan berapa lama waktu yang diperlukan. Tidak
mungkin mereka dapat mengalami karena berbagai
keterbatasan.
Cara ketiga; membawa gambar,
lukisan, foto, slide, film, maupun VCD tentang
objek-objek tersebut. Cara ini akan membantu penyuluh pertanian dalam
memberikan penjelasan. Selain menghemat kata-kata, menghemat waktu, penjelasannya akan lebih mudah dimengerti oleh mereka, menarik,
membangkitkan motivasi belajarnya, menghilangkan kesalahan pemahaman, serta
informasi yang disampaikan menjadi konsisten.
Ketiga cara
diatas dapat kita sebutkan, cara pertama sebagai informasi verbal, cara kedua
belajar pengalaman nyata, sedangkan cara ketiga informasi melalui media. Di
antara ketiga cara tersebut, cara ketiga adalah cara yang paling tepat dan
bijaksana untuk dilakukan karena media itu diperlukan oleh penyuluh pertanian agar proses penyuluhan berjalan efektif dan efisien. Menurut Edgar Dale, dalam dunia pendidikan (termasuk dalam pelatihan maupun
penyuluhan), penggunaan media/bahan/sarana belajar seringkali menggunakan
prinsip yang disebut Kerucut Pengalaman, yang membutuhkan media belajar
seperti buku teks, bahan belajar yang dibuat oleh penyuluh pertanian dan
berbentuk “audio-visual”.
Gambar 1. Kerucut Pengalaman menurut Edgar - Dale
Masalah yang sering ditemui adalah mengapa sampai saat ini masih ada penyuluh
pertanian yang enggan menggunakan media dalam menyuluh..? Berdasarkan
pengalaman, pengamatan dan diskusi dalam berbagai kesempatan dengan para penyuluh
pertanian dan pemangku kepentingan, terdapat sekurang-kurangnya tujuh alasan
mereka tidak menggunakan media penyuluhan, yaitu :
Pertama, menggunakan media itu repot. Melakukan penyuluhan dengan menggunakan
media itu perlu persiapan, penyuluh
pertanian merasa sudah sangat repot dengan menulis
persiapan penyuluhannya, jadwal yang padat, masalah keluarga di rumah dan
lain-lain, sehingga mana sempat memikirkan media penyuluhan pertanian yang akan
digunakn. Padahal kalau mau berpikir dari aspek lain, bahwa dengan media penyuluhan
itu akan lebih efektif, maka tidak ada alasan repot.
Kedua, media itu canggih dan mahal. Tidak selalu media penyuluhan pertanian itu
harus canggih dan mahal. Nilai penting dari sebuah media penyuluhan bukan
terletak pada kecanggihannya (apalagi harganya yang mahal) namun pada
efektifitas dan efisiensi dalam membantu proses penyuluhan pertanian. Banyak
media sederhana yang dapat dikembangkan oleh penyuluh pertanian dengan harga
murah.
Ketiga, tidak bisa menggunakan. Demam teknologi ternyata menyerang
sebagian dari penyuluh pertanian kita. Ada beberapa yang “takut” dengan
peralatan elektronik, takut kena setrum, takut korsleting, takut salah pencet, takut rusak, dan sebagainya. Akibatnya media OHP,
audio-visual atau slide projector yang telah dimiliki, sejak awal beli dalam kondisi baru tetap saja tersimpan rapi di ruang penyimpanan.
Keempat, media itu hiburan, sedangkan belajar itu serius. Alasan ini
sudah jarang ditemui, namun tetap ada. Menurut pendapat orang-orang terdahulu
belajar itu harus dengan serius, sedangkan media itu identik dengan hiburan.
Hiburan adalah hal yang berbeda dengan belajar. Paradigma belajar kini sudah
berubah. Kalau bisa belajar dengan menyenangkan, mengapa harus dengan
menderita? Kalau dapat dilakukan dengan mudah,
mengapa harus dipersulit?
Kelima, tidak tersedia. Tidak tersedianya media penyuluhan pertanian, mungkin
ini adalah alasan yang masuk akal. Tetapi seorang penyuluh pertanian tidak
boleh menyerah begitu saja. Ia adalah seorang profesional yang harus kreatif,
inovatif dan banyak inisiatif. Media penyuluhan pertanian tidak harus selalu
canggih, namun dapat juga dikembangkan sendiri oleh penyuluh pertanian, dalam
hal ini diharapkan pimpinan hendaklah cepat tanggap.
Keenam, kebiasaan menikmati ceramah/bicara. Metode penyuluhan
pertanian berupa ceramah adalah hal yang paling enak dan mudah, karena berbicara itu memang nikmat. Inilah kebiasaan yang
sulit dirubah. Seorang penyuluh pertanian cenderung mengulang cara para
pendahulunya. Hal yang harus dipertimbangkan dalam pembelajaran pada proses
penyuluhan pertanian adalah kepentingan mereka yang sedang belajar, bukan
kepuasan penyuluh pertanian itu semata.
Ketujuh,
kurangnya penghargaan dari atasan. Kurangnya penghargaan dari atasan,
mungkin juga adalah alasan yang masuk akal. Sering terjadi bahwa penyuluh
pertanian yang menyuluh dengan media penyuluhan pertanian yang dipersiapkan
secara baik, kurang mendapatkan penghargaan dari pimpinannya. Tidak adanya
reward bagi penyuluh pertanian sering menyebabkan yang
bersangkutan menjadi “malas”; sebab selama ini tidak ada perbedaan perlakuan bagi penyuluh
pertanian yang menggunakan media penyuluhan pertanian dibandingkan dengan penyuluh
pertanian yang menyuluh dengan tidak menggunakan media penyuluhan pertanian (metode
ceramah/bicara saja).
Peran Penyuluh
Pertanian Dalam Penyuluhan Pertanian Partisipatif
Pembelajaran partisipatif pada intinya
dapat diartikan sebagai upaya penyuluh pertanian untuk mengikut-sertakan pelaku
utama dan pelaku usaha dalam kegiatan penyuluhan, yaitu dalam tahap perencanaan
program, pelaksanaan program dan penilaian program.
Pembelajaran partisipatif, atau teknik
partisipatif, dilandasi oleh suatu pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya
memiliki pengalaman yang cukup kaya – untuk bisa diolah menjadi materi
penyuluhan pertanian. Pembelajaran partisipatif, tentu bukan sekedar teknik,
melainkan suatu pendekatan atau bahkan paradigma baru yang meninggalkan
paradigma lama yang bersifat sistem bank.
Metode pembelajaran atau dalam istilah
Knowles, “format pembelajaran” diartikan sebagai
patokan umum, oleh karena itu bisa dikatakan bahwa metode pembelajaran
partisipatif adalah suatu patokan umum yang diterapkan dalam penyuluhan
pertanian partisipatif. Ahli lain seperti Vemer mengklasifikasikan metode
pembelajaran ke dalam tiga kategori, yaitu : metode pembelajaran perorangan (Individual Methods), metode pembelajaran
kelompok (Group Methods) dan metode
pembelajaran pembangunan masyarakat (Community
Methods). Jelas disini, bahwa metode merupakan implementasi dari
prinsip-prinsip komunikasi.
Menurut paradigma behavioristik, belajar
merupakan transmisi pengetahuan dari expert ke novice. Berdasarkan konsep ini,
peran penyuluh pertanian adalah menyediakan dan menuangkan informasi
sebanyak-banyaknya kepada sasaran penyuluhan. Penyuluh pertanian mempersepsikan dirinya berhasil dalam
pekerjaannnya apabila dapat menuangkan pengetahuan sebanyak-banyaknya ke sasaran
penyuluhan, dan mereka dipersepsi berhasil apabila tunduk dalam menerima pengetahuan yang dituangkan penyuluh
pertanian kepada mereka. Dapat dikatakan bahwa
persepsi
semacam itu bersifat indoktrinasi, sehingga akan berdampak pada “penjinakan
kognitif” sasaran penyuluhan, menghalangi perkembangan kreativitas mereka, dan memenggal peluangnya untuk mencapai higher order thinking.
Akhir-akhir ini, konsep belajar didekati
menurut paradigma konstruktivisme yang berpendapat, bahwa belajar merupakan hasil konstruksi peserta
pelatihan itu sendiri sebagai hasil interaksinya
terhadap lingkungan belajar. Pengkonstruksian pemahaman dalam even belajar
dapat melalui proses asimilasi atau akomodasi, karena merupakan usahanya untuk menyempurnakan atau merubah
pengetahuan yang telah ada di benaknya (Heinich, et al., 2002).
Pengetahuan yang telah dimiliki sering
pula diistilahkan sebagai prakonsepsi. Proses asimilasi terjadi apabila
terdapat kesesuaian antara pengalaman baru dengan prakonsepsi yang dimiliki sasaran
penyuluhan. Sedangkan proses akomodasi adalah suatu proses adaptasi, evolusi,
atau perubahan yang terjadi sebagai akibat pengalaman baru yang tidak sesuai
dengan prakonsepsinya.
Tinjauan filosofis, psikologi kognitif,
psikologi sosial, dan teori sains sepakat menyatakan bahwa belajar merupakan
suatu proses perubahan (Dole dan Sinatra, 1998); sehingga sasaran penyuluhan itu sendiri yang
melakukan perubahan tentang pengetahuannya, sedangkan peran penyuluh pertanian adalah sebagai fasilitator, mediator, dan
pembimbing. Jadi penyuluh pertanian hanya dapat membantu proses perubahan
pengetahuan sasaran penyuluhan melalui perannya menyiapkan scaffolding dan guiding,
sehingga dapat mencapai tingkatan pemahaman yang lebih sempurna dibandingkan
dengan pengetahuan sebelumnya. Penyuluh pertanian menyiapkan tangga yang
efektif, tetapi mereka sendiri yang
memanjat melalui tangga tersebut untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam.
Berdasarkan paradigma konstruktivisme
tentang belajar tersebut, maka prinsip media penyuluhan pertanian menempati
posisi cukup strategis dalam rangka mewujudkan kegiatan belajar secara optimal yang merupakan salah satu indikator untuk
mewujudkan hasil belajar sasaran penyuluhan yang optimal pula; yang juga merupakan salah satu cerminan hasil penyuluhan
yang berkualitas, yang memerlukan
sumber daya penyuluh pertanian yang mampu berperan secara profesional dalam
lingkungan penyuluhan maupun masyarakat.
Dalam era perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang begitu pesat dewasa ini, profesionalisme penyuluh pertanian tidak
cukup hanya dengan kemampuan membelajarkan sasaran penyuluhan, tetapi juga
harus mampu mengelola informasi dan lingkungan untuk memfasilitasi kegiatan
belajarnya. Dampak yang terjadi dalam proses pembelajaran adalah diperkayanya sumber
dan media penyuluhan pertanian, seperti buku teks, modul, overhead
transparansi, film, video, televisi, slide, dan sebagainya.
Penyuluh pertanian yang profesional
dituntut mampu memilih dan menggunakan berbagai jenis media penyuluhan
pertanian yang ada di sekitarnya. Konsep lingkungan meliputi tempat belajar,
metode, media, sistem penilaian, serta sarana dan prasarana yang diperlukan
untuk mengemas penyuluhan dan mengatur bimbingan belajar sehingga memudahkan sasaran
penyuluhan.
Dalam pembelajaran yang dilakukan pada
penyuluhan pertanian yang partisipatif, penyuluh pertanian
lebih banyak berperan sebagai pembimbing dan pendorong bagi sasaran penyuluhan
untuk melakukan kegiatan pembelajaran sehingga mempengaruhi terhadap intensitas
peranannya dalam penyuluhan itu. Menurut Knowles dan
Cronne, peranan penyuluh pertanian mencakup menciptakan dan mengembangkan
situasi kegiatan belajar partisipatif, menekankan peranan sasaran penyuluhan,
dan dituntut agar mampu menyusun dan mengembangkan strategi penyuluhan
pertanian yang partisipatif.
Pada awal pembelajaran, intensitas peran penyuluh
pertanian sangat tinggi yaitu untuk menyajikan berbagai informasi materi
penyuluhan pertanian, memberikan motivasi serta memberikan bimbingan kepada sasaran
penyuluhan dalam melakukan pembelajaran, tetapi perannya makin lama makin
menurun karena digantikan oleh peran yang sangat tinggi
dari sasaran penyuluhan untuk berpartisipasi dalam pembelajaran secara
maksimal.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk
mengembangkan kegiatan pembelajaran antara lain : (1) menciptakan suasana yang mendorong peserta
pelatihan siap belajar; (2) membantu sasaran
penyuluhan menyusun kelompok, agar siap belajar dan membelajarkan; (3) membantu sasaran penyuluhan untuk mendiagnosis dan
menemukan kebutuhan belajarnya; (4) membantu sasaran
penyuluhan menyusun tujuan belajarnya; (5) membantu sasaran
penyuluhan merancang pola-pola pengalaman belajar; (6) membantu sasaran penyuluhan melakukan kegiatan belajarnya; dan (7) membantu sasaran penyuluhan melakukan
evaluasi diri terhadap proses dan hasil belajar.
Penutup
Media dapat didefinisikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya
komunikasi dari pengirim menuju penerima, berarti merupakan salah satu komponen dalam proses komunikasi, yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju
komunikan, dapat pula dikatakan bahwa
proses pembelajaran merupakan proses komunikasi yang mengandung lima komponen komunikasi, yaitu : (1) penyuluh pertanian sebagai komunikator; (2) bahan atau materi penyuluhan pertanian; (3) media penyuluhan pertanian; (4) sasaran penyuluhan sebagai komunikan, dan (5) tujuan penyuluhan pertanian itu sendiri.
Media penyuluhan pertanian merupakan alat bantu bagi seorang penyuluh
pertanian dalam proses belajar mengajar pada suatu kegiatan penyuluhan
pertanian, sekaligus menjadi alat komunikasi dalam menyampaikan pesan/isi
materi penyuluhan pertanian agar tujuan penyuluhan itu dapat tercapai secara
efektif, karena penyuluh pertanian bukan satu-satunya sumber pembelajaran namun
menjadi salah satu sumber penting sebagai pengelola proses belajar mengajar;
sedangkan media penyuluhan pertanian sebagai bagian integral yang mampu mengatasi berbagai hambatan dalam proses
komunikasi, menghindari adanya keterbatasan fisik dalam ruang, menggugah sifat
pasif sasaran dan mampu menyamakan pengamatan sasaran.
Efektivitas media dapat diukur dari seberapa banyak terjadi
interaksi diantara keduanya melalui media penyuluhan pertanian yang
dipergunakan. Menggunakan media penyuluhan pertanian dalam proses belajar
mengajar haruslah memahami betul ciri-ciri (karakteristik) dari media yang
digunakannya, tidak semua media dapat digunakan dalam suatu proses penyuluhan dan
tidak ada suatu media pun yang dapat sepenuhnya menggantikan kedudukan dan peran seorang penyuluh pertanian dalam proses
belajar mengajar pada kegiatan penyuluhan pertanian.
Media penyuluhan
pertanian mempunyai kelebihan dalam hal meningkatkan kemampuan
fiksatif, kemampuan manipulatif, dan kemampuan distributif. Penggunaan media, pada prinsipnya
berpedoman kepada landasan antara lain landasan filosofis, psikologis, teknologis, dan
empiris.
Pembelajaran partisipatif, ádalah sebuah
upaya penyuluh pertanian untuk mengikutsertakan sasaran penyuluhan dalam
kegiatan pembelajaran yaitu dalam tahap perencanaan program, pelaksanaan
program dan penilaian program, yang dilandasi oleh
pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki pengalaman yang cukup kaya
– untuk bisa diolah menjadi bahan atau materi penyuluhan pertanian.
Pembelajaran partisipatif memiliki maksud dasar untuk mengubah pola hubungan yang
ada antara sasaran penyuluhan dengan penyuluh pertanian, yang harus bersedia mengakui memerlukan belajar dari sasaran penyuluhan
yang dihadapinya, dan demikian pula sebaliknya.
Salah satu proses penting yang layak dilalui adalah adanya pembaharuan model-model pembelajaran yang tidak hanya hendak mengoreksi cara mengajar,
tetapi juga mengoreksi keseluruhan proses pembelajaran dalam kegiatan
penyuluhan pertanian itu. Kesemuanya ini menuntut adanya kesediaan semua pihak
untuk bersedia mengubah atau mentrasformasi pandangannya mengenai proses pembelajaran dalam penyuluhan
pertanian.
Sumber Bacaan
Dole, J. A. & Sinatra, G. M. 1998.
Reconceptualizing Change in the Cognitive Construction of Knowledge.
Educational Psichologist : 33(2/3), 109-128.
Heinich, R., Molenda, M., Russell, J. D.,
& Smaldino, S.E. 2002. Instructional Media and Technology for Learning, 7th
edition. Prentice Hall, Inc. New Jersey.
Ibrahim, H. 1997. Media Pembelajaran:
Arti, Fungsi, Landasan Pengunaan, Klasifikasi, Pemilihan, Karakteristik OHT,
Opaque, Filmstrip, Slide, Film, Video, TV, dan Penulisan Naskah Slide. Bahan
Sajian Program Pendidikan Akta Mengajar III-IV. FIP-IKIP Malang.
----------. 1999. Pemanfaatan dan
Pengembangan Media Slide Pembelajaran. Bahan Ajar. Disajikan dalam Pelatihan
Produksi dan Penggunaan Media Pembelajaran Bagi Dosen MDU Universitas Negeri
Malang, 8 Februari s.d 6 Maret 1999.
Knowles, M. 1975. Self Directed Learning.
Follet Publishing Company. Chicago.
Sudjana, D. 1993. Metode dan Teknik
Pembelajaran Partisipatif Dalam Pendidikan Luar Sekolah. Nusantara Press.
Bandung.