Friday, October 19, 2018

Pendayagunaan Media Dalam Kegiatan Penyuluhan Pertanian Partisipatif (1)


Oleh : Hamdan Malik

Pendahuluan

Pembelajaran kreatif dalam kegiatan penyuluhan pertanian dimaknai sebagai usaha seorang penyuluh pertanian sebagai fasilitator mampu menyajikan proses belajar yang dapat menumbuhkan minat belajar peserta penyuluhan, menciptakan suasana kelompok yang kondusif dan menyenangkan untuk belajar. Oleh karena itu, sudah saatnya penyuluh pertanian meninggalkan model pembelajaran yang menggunakan cara-cara instan dalam melakukan penyuluhan. Model pembelajaran dengan sistem drill, yang mengharapkan hasil bagus dengan cepat tanpa mengindahkan prosedur pembelajaran yang semestinya, sesungguhnya bersifat intimidatif. Bagaimana tidak mengintimidasi, bila peserta penyuluhan senantiasa dihadapkan pada keharusan meraih minimal ’kriteria tertentu’ yang menjadi standar kompetensi yang dibutuhkan? Akibatnya, peserta penyuluhan mengikuti pembelajaran dibawah bayang-bayang “ancaman dan ketakutan tidak mencapai batas kriteria minimal’ jika tidak dapat menyerap atau menguasai materi pelatihan (lebih tepatnya: menghafal), yang akan dibuktikan dengan unjuk kerja kompetensi.
Apabila dengan “pembelajaran intimidatif” tersebut peserta penyuluhan merasa terpaksa mengikuti kegiatan penyuluhan, sudah saatnya penyuluh pertanian memikirkan dan menerapkan model pembelajaran lain yang lebih memahami kondisi peserta penyuluhan pertanian; salah satu alternatifnya adalah model pembelajaran dalam penyuluhan pertanian yang bersifat partisipatif. Model pembelajaran ini menuntut seorang penyuluh pertanian dapat memilih dan mendayagunakan media penyuluhan pertaniannya yang sesuai, antara lain karena peserta penyuluhan dilibatkan dan diikutsertakan dalam menentukan dan mencari bahan/materi dari berbagai sumber yang akan dipelajari.
Sudah bukan masanya lagi dalam setiap proses pembelajaran, apalagi dalam kegiatan penyuluhan pertanian menerapkan pendekatan yang “intimidatif” seperti itu, bukankah lebih efektif jika dilakukan dengan pendekatan partisipatif....?
Ada ungkapan dari Peter Kline yang mengatakan bahwa “Learning is Most Effecive When It’s Fun”, pembelajaran itu akan terlaksana paling efektif manakala dilakukan dengan senang hati. Ungkapan ini mempunyai makna yang sangat dalam, yakni bahwa tujuan pembelajaran itu akan tercapai jika peserta penyuluhan mengikuti dan melakukan proses pembelajarannya dengan senang hati, dan tentu saja dengan motivasi yang tinggi.

Media Penyuluhan Pertanian

Kata media merupakan bentuk jamak dari kata medium, yang dapat didefinisikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima. Media merupakan salah satu komponen komunikasi, yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikan. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa proses penyuluhan pertanian merupakan proses komunikasi.
Proses penyuluhan pertanian mengandung lima komponen komunikasi, yaitu : (1) penyuluh pertanian sebagai komunikator; (2) bahan atau materi penyuluhan; (3) media dan/ata alat bantu penyuluhan pertanian; (4) metode dan teknik penyuluhan yang diterapkan; (5) pelaku utama dan pelaku usaha sebagai peserta penyuluhan sebagai komunikan, dan (6) tujuan penyuluhan yang hendak dicapai.
Jadi, media penyuluhan pertanian adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan atau materi penyuluhan), sehingga dapat merangsang perhatian, minat, pikiran, dan perasaan pelaku utama dan pelaku usaha sebagai peserta penyuluhan untuk mencapai tujuan mempelajari materi tersebut. Proses pembelajaran dalam penyuluhan pertanian merupakan proses komunikasi dan berlangsung dalam suatu sistem, maka media penyuluhan pertanian menempati posisi yang penting sebagai salah satu komponen sistem penyuluhan pertanian, dan merupakan komponen integral dari sistem penyuluhan pertanian; karena dalam proses penyuluhan, media penyuluhan pertanian memiliki fungsi sebagai pembawa informasi dari penyuluh pertanian menuju ke pelaku utama dan pelaku usaha sebagai sasaran penyuluhan.
Kelebihan kemampuan media pembelajaran menurut Gerlach dan Ely adalah dalam hal (1) kemampuan fiksatif; (2) kemampuan manipulatif; dan (3) kemampuan distributif. Sedangkan hambatan-hambatan komunikasi dalam proses pembelajaran antara lain (1) verbalisme, artrinya peserta dapat menyebutkan kata tetapi tidak mengetahui artinya; (2) salah tafsir, artinya dengan istilah atau kata yang sama diartikan berbeda oleh peserta; (3) perhatian tidak berpusat; dan (4) tidak terjadinya pemahaman.
Oleh karenanya, pengembangan media penyuluhan pertanian hendaknya diupayakan untuk memanfaatkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh media tersebut dan berusaha menghindari hambatan-hambatan yang mungkin muncul dalam proses penyuluhan pertanian.

Landasan Penggunaan Media Penyuluhan Pertanian

Ada beberapa tinjauan tentang landasan penggunaan media pembelajaran, khususnya media penyuluhan pertanian; antara lain landasan filosofis, psikologis, teknologis, dan empiris.
Landasan filosofis. Ada suatu pandangan, bahwa dengan digunakannya berbagai jenis media hasil teknologi baru di dalam kegiatan penyuluhan, akan berakibat proses pembelajaran dalam penyuluhan itu yang kurang manusiawi. Benarkah pendapat tersebut? Bukankah dengan adanya berbagai media penyuluhan pertanian justru peserta dapat mempunyai banyak pilihan untuk digunakan media mana yang lebih sesuai dengan karakteristik pribadinya? Dengan demikian, penerapan teknologi tidak berarti dehumanisasi.
Landasan psikologis. Dengan memperhatikan kompleks dan uniknya proses belajar, ketepatan pemilihan media dan metode pembelajaran dalam penyuluhan pertanian akan sangat berpengaruh terhadap hasil belajar sasaran penyuluhan. Untuk maksud tersebut, perlu diadakan pemilihan media yang tepat sehingga dapat menarik perhatian peserta serta memberikan kejelasan obyek yang diamatinya, dan materi penyuluhan pertanian yang akan diajarkan dapat disesuaikan dengan pengalaman peserta penuluhan itu sendiri, sebab kajian secara psikologis menyatakan bahwa peserta akan lebih mudah mempelajari hal yang konkrit ketimbang yang abstrak. Berkaitan dengan hubungan konkrit – abstrak dan kaitannya dengan penggunaan media, ada beberapa pendapat.
Pertama, Jerome Bruner; mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran hendaknya menggunakan urutan dari belajar dengan gambaran atau film (iconic representation of experiment) kemudian ke belajar dengan simbul, yaitu menggunakan kata-kata (symbolic representation).
Kedua, Charles F. Haban; mengemukakan bahwa sebenarnya nilai dari media terletak pada tingkat realistiknya dalam proses penanaman konsep, ia membuat jenjang berbagai jenis media mulai yang paling nyata ke yang paling abstrak.
Ketiga, Edgar Dale; membuat jenjang konkrit-abstrak dengan dimulai dari peserta yang berpartisipasi dalam pengalaman nyata, kemudian menuju peserta sebagai pengamat kejadian nyata, dilanjutkan ke peserta sebagai pengamat terhadap kejadian yang disajikan dengan media, dan terakhir peserta sebagai pengamat kejadian yang disajikan dengan simbol. Jenjang konkrit-abstrak ini ditunjukkan dengan bagan dalam bentuk kerucut pengalaman (cone of experiment). Dalam menentukan jenjang konkrit ke abstrak antara Edgar Dale dan Bruner pada diagram jika disejajarkan ada persamaannya, namun antara keduanya sebenarnya terdapat perbedaan konsep. Dale menekankan peserta sebagai pengamat kejadian sehingga menekankan stimulus yang dapat diamati, sedangkan Bruner menekankan pada proses operasi mental peserta pelatihan pada saat mengamati obyek.
Landasan teknologis. Teknologi pembelajaran adalah teori dan praktek perancangan, pengembangan, penerapan, pengelolaan, dan penilaian proses dan sumber belajar. Jadi, teknologi pembelajaran merupakan proses kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari cara pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan masalah-masalah dalam situasi di mana kegiatan belajar itu mempunyai tujuan dan terkontrol. Dalam teknologi pembelajaran, pemecahan masalah dilakukan dalam bentuk kesatuan komponen sistem pembelajaran yang disusun dalam fungsi disain atau seleksi, dan dalam pemanfaatan serta dikombinasikan sehingga menjadi  sistem pembelajaran yang lengkap.
Landasan empiris. Terdapat interaksi antara penggunaan media penyuluhan pertanian dan karakteristik belajar pelaku utama dan pelaku usaha sebagai peserta penyuluhan dalam menentukan hasil belajarnya. Artinya, mereka akan mendapat keuntungan yang signifikan bila ia belajar dengan menggunakan media yang sesuai dengan karakteristik tipe atau gaya belajarnya; bagi yang memiliki tipe belajar visual akan lebih memperoleh keuntungan bila pembelajaran menggunakan media visual, seperti gambar, diagram, video, atau film, sedangkan yang memiliki tipe belajar auditif, akan lebih suka belajar dengan media audio, seperti radio, rekaman suara, atau ceramah yang disampaikan oleh penyuluh pertanian. Berdasarkan landasan rasional empiris tersebut, maka pemilihan media penyuluhan pertanian hendaknya jangan atas dasar kesukaan penyuluh pertanian itu sendiri, tetapi harus mempertimbangkan kesesuaian antara karakteristik peserta, karakteristik materi, dan karakteristik media penyuluhan itu sendiri.

Penyuluh Pertanian dan Media Penyuluhan Pertanian

Perubahan global dalam perkembangan pengetahuan dan teknologi, terutama yang berhubungan dengan sistem pembelajaran di lembaga-lembaga penyuluhan pertanian menuntut adanya perubahan sikap dan paradigma dari para penyuluh pertanian dalam melaksanakan kegiatan penyuluhannya.
Dulu ada anggapan yang salah kaprah, yaitu bahwa penyuluh pertanian adalah orang atau sosok yang paling mengetahui, yang kemudian berkembang menjadi sosok lebih dulu mengetahui atau pengetahuan penyuluh pertanian hanya beda semalam dibandingkan dengan peserta penyuluhannya. Sekarang bukan saja pengetahuan penyuluh pertanian sama dengan peserta penyuluhannya, bahkan mereka dapat lebih dulu mengetahui daripada penyuluhnya itu sendiri, sebagai akibat perkembangan media informasi yang begitu cepat di sekitar lingkungan kita, sehingga pada saat ini penyuluh pertanian bukan lagi satu-satunya sumber belajar. Banyak contoh, peserta penyuluhan dapat lebih dulu mendapat informasi dengan cara mengakses informasi dari media massa seperti : surat kabar, televisi, handphone (SMA/MMS/BBM), bahkan internet. Sedangkan seringkali penyuluh pertanian dengan alasan klasik “masalah ekonomi”, mereka tidak dapat mengakses informasi dengan cepat.
Bagaimana penyuluh pertanian menyikapi perkembangan ini? Setidaknya ada tiga kelompok penyuluh pertanian dalam menyikapi hal ini, seperti tidak peduli, menunggu petunjuk, atau cepat menyesuaikan diri.
Kelompok pertama; yaitu penyuluh pertanian yang tidak peduli. Seorang penyuluh pertanian yang mempunyai rasa percaya diri berlebihan (over confidence) barangkali akan berpegang kepada anggapan bahwa sampai kapanpun posisi penyuluh pertanian tidak akan tergantikan. Dalam setiap proses pembelajaran pada penyuluhan pertanian tetap diperlukan sentuhan manusiawi dari seorang penyuluh pertanian; sehingga dalam kelompok ini digambarkan peserta penyuluhan pertanian sebagai seseorang yang sifatnya tergantung, dan menganggap pengalaman mereka tidak besar nilainya.
Pengalaman yang sangat besar manfaatnya adalah pengalaman yang diperoleh dari penyuluh pertanian, sehingga tetap memerlukan sentuhan psikologis dari seorang penyuluh pertanian, yang dalam memberikan penyuluhan tidak hanya mengutamakan materi penyuluhannya saja, akan tetapi harus juga memperhatikan mereka (pelaku utama dan pelaku usaha) sebagai manusia yang harus dikembangkan potensi diri dan pribadinya, sehingga harus tetap dipelihara keseimbangan antara perkembangan intelektual dan perkembangan psikologis.
Teknologi secanggih komputer yang bagaimanapun, VCD/DVD, internet atau apapun, tidak dapat menggantikan manusia, karena bagaimanapun teknologi berkembang secara pesat, penyuluh pertanian tetap dianggap sebagai yang “harus digugu dan ditiru”. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa media penyuluhan pertanian tidak dapat menggantikan posisi penyuluh pertanian, namun sikap tidak peduli terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi, bukanlah sikap yang tepat. Bagaimanapun, lingkungan kita terus berkembang, tuntutan masyarakat terhadap kualitas penyuluh pertanian semakin meningkat, sehingga harus peduli.
Kelompok kedua; adalah penyuluh pertanian yang menunggu petunjuk, kelompok inilah yang paling banyak ditemukan di hampir semua lembaga-lembaga penyuluhan pertanian yang mungkin akibat dari kebijakan sistem penyuluhan pertanian selama ini. Penyuluh pertanian dianggap sebagai “tukang” dalam melaksanakan rencana kegiatan penyuluhannya yang demikian rinci dan kaku, sehingga tinggal melaksanakan tanpa boleh menyimpang dari pedoman baku yang telah ditentukan.
Kelompok ketiga; adalah penyuluh pertanian yang cepat menyesuaikan diri. Sejalan dengan perubahan kurikulum, otonomi dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian, serta manajemen lembaga penyuluhan pertanian berbasis kompetensi, bukan lagi saatnya bagi penyuluh pertanian untuk selalu menunggu petunjuk. Penyuluh pertanian adalah tenaga profesional, bukan amatir. Dengan mengacu kepada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Penyuluh Pertanian, maka setiap penyuluh pertanian dituntut untuk dapat mengembangkan materi penyuluhan pertanian bagi sasaran penyuluhan pertanian dalam suatu proses pelaksanaan penyuluhan yang berkesinambungan. Penyulu pertanian dituntut untuk mengembangkan kemampuan dan kompetensi petani binaannya, bukan sekedar pengetahuan tetapi para peserta penyuluhan hendaknya mampu berpikir (kognitif), mampu menentukan sikap (affektif) dan mampu bertindak (psikomotor), sehingga nantinya menjadi manusia yang bermartabat. Oleh karena itu saran yang tepat untuk penyuluh pertanian adalah cepat-cepatlah menyesuaikan diri, dan perlu segera mereposisi perannya saat ini, dan tidak lagi menjadi orang yang paling mengetahui di kelas, namun harus mampu menjadi fasilitator yang baik pada proses pembelajaran dalam kegiatan penyuluhan pertanian.

bersambung.....

No comments:

Post a Comment