Oleh : Hamdan Malik
Pendahuluan
Pendahuluan
Pembelajaran kreatif dalam kegiatan penyuluhan
pertanian dimaknai sebagai usaha seorang penyuluh pertanian sebagai fasilitator
mampu menyajikan proses belajar yang dapat menumbuhkan minat belajar peserta penyuluhan, menciptakan suasana
kelompok yang kondusif dan menyenangkan untuk belajar. Oleh karena itu,
sudah saatnya penyuluh pertanian meninggalkan model pembelajaran yang
menggunakan cara-cara instan dalam melakukan penyuluhan. Model pembelajaran
dengan sistem drill, yang mengharapkan hasil bagus dengan cepat tanpa
mengindahkan prosedur pembelajaran yang semestinya, sesungguhnya bersifat
intimidatif. Bagaimana tidak mengintimidasi, bila peserta penyuluhan senantiasa
dihadapkan pada keharusan meraih minimal ’kriteria tertentu’ yang menjadi
standar kompetensi yang dibutuhkan? Akibatnya, peserta penyuluhan mengikuti
pembelajaran dibawah bayang-bayang “ancaman dan ketakutan tidak mencapai batas kriteria
minimal’ jika tidak dapat menyerap atau menguasai materi pelatihan (lebih
tepatnya: menghafal), yang akan dibuktikan dengan unjuk kerja kompetensi.
Apabila dengan “pembelajaran intimidatif” tersebut
peserta penyuluhan merasa terpaksa mengikuti kegiatan penyuluhan, sudah saatnya
penyuluh pertanian memikirkan dan menerapkan model pembelajaran lain yang lebih
memahami kondisi peserta penyuluhan
pertanian; salah satu alternatifnya adalah model
pembelajaran dalam penyuluhan pertanian yang bersifat partisipatif. Model pembelajaran ini menuntut seorang penyuluh
pertanian dapat memilih dan mendayagunakan media penyuluhan
pertaniannya yang sesuai, antara lain
karena peserta
penyuluhan dilibatkan dan diikutsertakan dalam menentukan dan mencari
bahan/materi dari berbagai sumber yang akan dipelajari.
Sudah bukan masanya lagi dalam setiap proses pembelajaran, apalagi
dalam kegiatan penyuluhan pertanian menerapkan pendekatan yang “intimidatif”
seperti itu, bukankah lebih efektif jika dilakukan dengan pendekatan
partisipatif....?
Ada ungkapan dari Peter Kline yang mengatakan bahwa “Learning is Most Effecive When It’s Fun”,
pembelajaran itu akan terlaksana paling efektif manakala dilakukan dengan
senang hati. Ungkapan ini mempunyai makna yang sangat dalam, yakni bahwa tujuan
pembelajaran itu akan tercapai jika peserta penyuluhan
mengikuti dan
melakukan proses pembelajarannya dengan senang hati, dan tentu saja dengan motivasi yang tinggi.
Media Penyuluhan
Pertanian
Kata media merupakan bentuk jamak dari
kata medium, yang dapat didefinisikan sebagai perantara atau
pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima. Media merupakan salah satu komponen komunikasi,
yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikan. Berdasarkan
definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa proses penyuluhan pertanian merupakan
proses komunikasi.
Proses penyuluhan pertanian mengandung
lima komponen komunikasi, yaitu : (1) penyuluh
pertanian sebagai komunikator; (2) bahan atau
materi penyuluhan; (3) media dan/ata
alat bantu penyuluhan pertanian; (4) metode dan teknik penyuluhan yang diterapkan; (5)
pelaku utama dan pelaku usaha sebagai peserta penyuluhan sebagai komunikan, dan
(6) tujuan penyuluhan
yang hendak dicapai.
Jadi, media penyuluhan pertanian adalah
segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan atau materi
penyuluhan), sehingga dapat merangsang perhatian, minat, pikiran, dan perasaan pelaku
utama dan pelaku usaha sebagai peserta penyuluhan untuk mencapai tujuan mempelajari
materi tersebut. Proses
pembelajaran dalam penyuluhan pertanian merupakan proses komunikasi dan
berlangsung dalam suatu sistem, maka media penyuluhan pertanian menempati
posisi yang penting sebagai salah satu komponen sistem penyuluhan pertanian, dan merupakan komponen integral dari sistem penyuluhan
pertanian; karena dalam proses penyuluhan, media penyuluhan
pertanian memiliki fungsi sebagai pembawa informasi dari penyuluh pertanian menuju
ke pelaku utama dan pelaku usaha sebagai sasaran penyuluhan.
Kelebihan kemampuan media pembelajaran
menurut Gerlach dan Ely adalah dalam hal (1) kemampuan
fiksatif; (2) kemampuan
manipulatif; dan (3) kemampuan distributif. Sedangkan hambatan-hambatan komunikasi dalam proses
pembelajaran antara lain (1) verbalisme,
artrinya peserta dapat menyebutkan kata tetapi tidak mengetahui artinya; (2) salah tafsir, artinya dengan istilah atau kata
yang sama diartikan berbeda oleh peserta; (3) perhatian tidak berpusat; dan (4) tidak terjadinya
pemahaman.
Oleh karenanya, pengembangan
media penyuluhan pertanian hendaknya diupayakan untuk memanfaatkan
kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh media tersebut dan berusaha menghindari
hambatan-hambatan yang mungkin muncul dalam proses penyuluhan pertanian.
Landasan
Penggunaan Media Penyuluhan Pertanian
Ada beberapa tinjauan tentang landasan
penggunaan media pembelajaran, khususnya media penyuluhan pertanian; antara
lain landasan filosofis, psikologis, teknologis, dan empiris.
Landasan filosofis. Ada suatu
pandangan, bahwa dengan digunakannya berbagai jenis media hasil teknologi baru
di dalam kegiatan penyuluhan, akan berakibat proses pembelajaran dalam
penyuluhan itu yang kurang manusiawi. Benarkah pendapat tersebut? Bukankah
dengan adanya berbagai media penyuluhan pertanian justru peserta dapat
mempunyai banyak pilihan untuk digunakan media mana yang lebih sesuai dengan
karakteristik pribadinya? Dengan demikian, penerapan teknologi tidak berarti
dehumanisasi.
Landasan psikologis. Dengan
memperhatikan kompleks dan uniknya proses belajar, ketepatan pemilihan media
dan metode pembelajaran dalam penyuluhan pertanian akan sangat berpengaruh
terhadap hasil belajar sasaran penyuluhan. Untuk maksud tersebut, perlu diadakan pemilihan media yang tepat sehingga dapat menarik perhatian
peserta serta memberikan kejelasan obyek yang diamatinya, dan materi penyuluhan pertanian yang akan diajarkan dapat
disesuaikan dengan pengalaman peserta penuluhan itu sendiri, sebab kajian secara
psikologis menyatakan bahwa peserta akan lebih mudah mempelajari hal yang
konkrit ketimbang yang abstrak. Berkaitan dengan hubungan konkrit – abstrak dan kaitannya dengan penggunaan media, ada beberapa pendapat.
Pertama, Jerome Bruner; mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran
hendaknya menggunakan urutan dari belajar dengan gambaran atau film (iconic representation of experiment)
kemudian ke belajar dengan simbul, yaitu menggunakan kata-kata (symbolic representation).
Kedua, Charles F. Haban; mengemukakan bahwa sebenarnya nilai dari media
terletak pada tingkat realistiknya dalam proses penanaman konsep, ia membuat
jenjang berbagai jenis media mulai yang paling nyata ke yang paling abstrak.
Ketiga, Edgar Dale; membuat jenjang konkrit-abstrak dengan dimulai dari peserta yang
berpartisipasi dalam pengalaman nyata, kemudian menuju peserta sebagai pengamat
kejadian nyata, dilanjutkan ke peserta sebagai pengamat terhadap kejadian yang
disajikan dengan media, dan terakhir peserta sebagai pengamat kejadian yang
disajikan dengan simbol. Jenjang
konkrit-abstrak ini ditunjukkan dengan bagan dalam bentuk kerucut pengalaman (cone of experiment). Dalam menentukan
jenjang konkrit ke abstrak antara Edgar Dale dan Bruner pada diagram jika
disejajarkan ada persamaannya, namun antara keduanya sebenarnya terdapat
perbedaan konsep. Dale menekankan peserta sebagai pengamat kejadian sehingga
menekankan stimulus yang dapat diamati, sedangkan Bruner menekankan pada proses operasi mental peserta pelatihan pada saat mengamati obyek.
Landasan teknologis. Teknologi
pembelajaran adalah teori dan praktek perancangan, pengembangan, penerapan,
pengelolaan, dan penilaian proses dan sumber belajar. Jadi, teknologi
pembelajaran merupakan proses kompleks dan terpadu yang melibatkan orang,
prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari
cara pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan
masalah-masalah dalam situasi di mana kegiatan belajar itu mempunyai tujuan dan
terkontrol. Dalam teknologi pembelajaran, pemecahan masalah dilakukan dalam
bentuk kesatuan komponen sistem pembelajaran yang disusun dalam fungsi disain
atau seleksi, dan dalam pemanfaatan serta dikombinasikan sehingga menjadi sistem pembelajaran yang lengkap.
Landasan empiris. Terdapat
interaksi antara penggunaan media penyuluhan pertanian dan karakteristik
belajar pelaku utama dan pelaku usaha sebagai peserta penyuluhan dalam
menentukan hasil belajarnya. Artinya, mereka akan mendapat keuntungan yang
signifikan bila ia belajar dengan menggunakan media yang sesuai dengan
karakteristik tipe atau gaya belajarnya; bagi yang memiliki tipe belajar visual akan
lebih memperoleh keuntungan bila pembelajaran menggunakan media visual, seperti
gambar, diagram, video, atau film, sedangkan yang memiliki
tipe belajar auditif, akan lebih suka belajar dengan media audio, seperti
radio, rekaman suara, atau ceramah yang disampaikan oleh penyuluh pertanian.
Berdasarkan landasan rasional empiris tersebut, maka pemilihan media penyuluhan
pertanian hendaknya jangan atas dasar kesukaan penyuluh pertanian itu sendiri,
tetapi harus mempertimbangkan kesesuaian antara karakteristik peserta, karakteristik materi, dan karakteristik media penyuluhan
itu sendiri.
Penyuluh Pertanian dan Media Penyuluhan Pertanian
Perubahan global dalam perkembangan pengetahuan dan teknologi,
terutama yang berhubungan dengan sistem pembelajaran di lembaga-lembaga
penyuluhan pertanian menuntut adanya perubahan sikap dan paradigma dari para penyuluh pertanian dalam melaksanakan kegiatan penyuluhannya.
Dulu ada anggapan
yang salah kaprah, yaitu bahwa penyuluh pertanian adalah orang atau sosok yang
paling mengetahui, yang kemudian berkembang menjadi sosok lebih dulu mengetahui
atau pengetahuan penyuluh pertanian hanya beda semalam dibandingkan dengan
peserta penyuluhannya. Sekarang bukan
saja pengetahuan penyuluh pertanian sama dengan peserta penyuluhannya, bahkan mereka dapat lebih dulu mengetahui daripada penyuluhnya
itu sendiri, sebagai akibat perkembangan media informasi yang
begitu cepat di sekitar lingkungan kita, sehingga pada saat ini penyuluh
pertanian bukan lagi satu-satunya sumber belajar. Banyak contoh,
peserta penyuluhan dapat lebih dulu mendapat informasi dengan cara mengakses
informasi dari media massa seperti : surat kabar, televisi, handphone (SMA/MMS/BBM), bahkan
internet. Sedangkan seringkali penyuluh pertanian dengan alasan klasik “masalah
ekonomi”, mereka tidak dapat mengakses informasi dengan cepat.
Bagaimana penyuluh pertanian menyikapi perkembangan ini? Setidaknya
ada tiga kelompok penyuluh pertanian dalam menyikapi hal ini, seperti tidak
peduli, menunggu petunjuk, atau cepat menyesuaikan diri.
Kelompok pertama; yaitu penyuluh
pertanian yang tidak peduli. Seorang penyuluh pertanian yang mempunyai rasa
percaya diri berlebihan (over confidence)
barangkali akan berpegang kepada anggapan bahwa sampai kapanpun posisi penyuluh
pertanian tidak akan tergantikan. Dalam setiap proses pembelajaran pada
penyuluhan pertanian tetap diperlukan sentuhan manusiawi dari seorang penyuluh
pertanian; sehingga dalam kelompok ini digambarkan peserta penyuluhan pertanian
sebagai seseorang yang sifatnya tergantung, dan menganggap pengalaman mereka tidak besar nilainya.
Pengalaman yang sangat besar manfaatnya adalah pengalaman yang
diperoleh dari penyuluh pertanian, sehingga tetap memerlukan sentuhan psikologis dari seorang
penyuluh pertanian, yang dalam memberikan penyuluhan tidak hanya mengutamakan materi
penyuluhannya saja, akan tetapi harus juga memperhatikan mereka (pelaku utama dan pelaku usaha) sebagai manusia
yang harus dikembangkan potensi diri dan pribadinya, sehingga harus tetap dipelihara keseimbangan antara perkembangan
intelektual dan perkembangan psikologis.
Teknologi secanggih komputer yang bagaimanapun, VCD/DVD, internet atau apapun, tidak dapat
menggantikan manusia, karena bagaimanapun
teknologi berkembang secara pesat, penyuluh pertanian tetap dianggap sebagai
yang “harus digugu dan ditiru”. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa media penyuluhan
pertanian tidak dapat menggantikan posisi penyuluh pertanian, namun sikap tidak
peduli terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi, bukanlah sikap yang
tepat. Bagaimanapun, lingkungan kita terus berkembang, tuntutan masyarakat
terhadap kualitas penyuluh pertanian semakin meningkat, sehingga harus peduli.
Kelompok kedua; adalah penyuluh
pertanian yang menunggu petunjuk, kelompok inilah
yang paling banyak ditemukan di hampir semua lembaga-lembaga penyuluhan
pertanian yang mungkin akibat dari kebijakan sistem penyuluhan
pertanian selama ini. Penyuluh pertanian dianggap sebagai “tukang” dalam
melaksanakan rencana kegiatan penyuluhannya yang demikian rinci dan kaku,
sehingga tinggal melaksanakan tanpa boleh menyimpang dari pedoman baku yang
telah ditentukan.
Kelompok ketiga; adalah penyuluh pertanian yang cepat menyesuaikan
diri. Sejalan dengan perubahan kurikulum, otonomi dalam pelaksanaan penyuluhan
pertanian, serta manajemen lembaga penyuluhan pertanian berbasis kompetensi,
bukan lagi saatnya bagi penyuluh pertanian untuk selalu menunggu petunjuk. Penyuluh
pertanian adalah tenaga profesional, bukan amatir. Dengan mengacu kepada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
(SKKNI) Penyuluh Pertanian, maka setiap penyuluh pertanian dituntut untuk dapat
mengembangkan materi penyuluhan pertanian bagi sasaran penyuluhan pertanian dalam
suatu proses pelaksanaan penyuluhan yang berkesinambungan. Penyulu pertanian dituntut
untuk mengembangkan kemampuan dan kompetensi petani binaannya, bukan sekedar
pengetahuan tetapi para peserta penyuluhan hendaknya mampu berpikir (kognitif),
mampu menentukan sikap (affektif) dan mampu bertindak (psikomotor), sehingga
nantinya menjadi manusia yang bermartabat. Oleh karena itu saran yang tepat
untuk penyuluh pertanian adalah cepat-cepatlah menyesuaikan diri, dan perlu segera
mereposisi perannya saat ini, dan tidak lagi
menjadi orang yang paling mengetahui di kelas, namun harus mampu menjadi fasilitator yang baik pada proses pembelajaran dalam kegiatan penyuluhan pertanian.
bersambung.....
No comments:
Post a Comment