Saturday, October 20, 2018

Pendayagunaan Media Dalam Kegiatan Penyuluhan Pertanian Partisipatif (2)

Oleh : Hamdan Malik

Dalam tulisan sebelumnya, telah diuraikan tentang apa itu media penyuluhan pertanian, landasan penggunaan media penyuluhan pertanian, dan bagaimana posisi penyuluh pertanian dan media penyuluhan pertanain.
Berikut ini akan disampaikan bagaimana pentingnya seorang penyuluh pertanian untuk menguasai media penyuluhan pertanian, dan bagaimana peran penyuluh pertanian dalam penyuluhan pertanian partisipatif.

Pentingnya Menguasai Media Penyuluhan Pertanian

Ada banyak cara yang dilakukan penyuluh pertanian dalam menjalankan tugasnya sebagai komunikator pada proses penyuluhan pertanian, tetapi pernahkah menghadapi kesulitan dalam menjelaskan suatu materi materi penyuluhan pertanian kepada pelaku utama dan pelaku usaha; misalnya menjelaskan sesuatu yang masih asing bagi peserta penyuluhan...?
Cara pertama; bercerita tentang hal-hal yang belum pernah diketahui atau dialami oleh peserta penyuluhan. Penyuluh pertanian dapat bercerita mungkin karena pengalaman, membaca buku, cerita orang lain atau pernah melihat objek-objek itu. Apabila mereka sama sekali belum mengetahui, belum pernah melihat objek-objek tersebut di televisi atau melihat gambarnya di buku, betapa sulitnya menjelaskan hanya dengan kata-kata tentang objek tersebut. Penjelasan dengan kata-kata mungkin akan menghabiskan waktu yang lama. Pemahaman mereka akan berbeda sesuai dengan pengetahuan sebelumnya, bahkan mungkin akan menimbulkan kesalahan persepsi.
Cara kedua; membawa mereka ke lokasi kegiatan yang berkaitan dengan materi penyuluhan pertanian yang disampaikannya untuk melihat obyek itu, dan menugaskan mereka melakukan pengamatan dan wawancara. Ini lebih efektif dibandingkan dengan cara lainnya walaupun tidak efisien, masalahnya berapa biaya yang harus ditanggung, dan berapa lama waktu yang diperlukan. Tidak mungkin mereka dapat mengalami karena berbagai keterbatasan.
Cara ketiga; membawa gambar, lukisan, foto, slide, film, maupun VCD tentang objek-objek tersebut. Cara ini akan membantu penyuluh pertanian dalam memberikan penjelasan. Selain menghemat kata-kata, menghemat waktu, penjelasannya akan lebih mudah dimengerti oleh mereka, menarik, membangkitkan motivasi belajarnya, menghilangkan kesalahan pemahaman, serta informasi yang disampaikan menjadi konsisten.
Ketiga cara diatas dapat kita sebutkan, cara pertama sebagai informasi verbal, cara kedua belajar pengalaman nyata, sedangkan cara ketiga informasi melalui media. Di antara ketiga cara tersebut, cara ketiga adalah cara yang paling tepat dan bijaksana untuk dilakukan karena media itu diperlukan oleh penyuluh pertanian agar proses penyuluhan berjalan efektif dan efisien. Menurut Edgar Dale, dalam dunia pendidikan (termasuk dalam pelatihan maupun penyuluhan), penggunaan media/bahan/sarana belajar seringkali menggunakan prinsip yang disebut Kerucut Pengalaman, yang membutuhkan media belajar seperti buku teks, bahan belajar yang dibuat oleh penyuluh pertanian dan berbentuk “audio-visual”.

Gambar 1. Kerucut Pengalaman menurut Edgar - Dale

Masalah yang sering ditemui adalah mengapa sampai saat ini masih ada penyuluh pertanian yang enggan menggunakan media dalam menyuluh..? Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan diskusi dalam berbagai kesempatan dengan para penyuluh pertanian dan pemangku kepentingan, terdapat sekurang-kurangnya tujuh alasan mereka tidak menggunakan media penyuluhan, yaitu :
Pertama, menggunakan media itu repot. Melakukan penyuluhan dengan menggunakan media itu perlu persiapan, penyuluh pertanian merasa sudah sangat repot dengan menulis persiapan penyuluhannya, jadwal yang padat, masalah keluarga di rumah dan lain-lain, sehingga mana sempat memikirkan media penyuluhan pertanian yang akan digunakn. Padahal kalau mau berpikir dari aspek lain, bahwa dengan media penyuluhan itu akan lebih efektif, maka tidak ada alasan repot.

Kedua, media itu canggih dan mahal. Tidak selalu media penyuluhan pertanian itu harus canggih dan mahal. Nilai penting dari sebuah media penyuluhan bukan terletak pada kecanggihannya (apalagi harganya yang mahal) namun pada efektifitas dan efisiensi dalam membantu proses penyuluhan pertanian. Banyak media sederhana yang dapat dikembangkan oleh penyuluh pertanian dengan harga murah.

Ketiga, tidak bisa menggunakan. Demam teknologi ternyata menyerang sebagian dari penyuluh pertanian kita. Ada beberapa yang “takut” dengan peralatan elektronik, takut kena setrum, takut korsleting, takut salah pencet, takut rusak, dan sebagainya. Akibatnya media OHP, audio-visual atau slide projector yang telah dimiliki, sejak awal beli dalam kondisi baru tetap saja tersimpan rapi di ruang penyimpanan.

Keempat, media itu hiburan, sedangkan belajar itu serius. Alasan ini sudah jarang ditemui, namun tetap ada. Menurut pendapat orang-orang terdahulu belajar itu harus dengan serius, sedangkan media itu identik dengan hiburan. Hiburan adalah hal yang berbeda dengan belajar. Paradigma belajar kini sudah berubah. Kalau bisa belajar dengan menyenangkan, mengapa harus dengan menderita? Kalau dapat dilakukan dengan mudah, mengapa harus dipersulit?
Kelima, tidak tersedia. Tidak tersedianya media penyuluhan pertanian, mungkin ini adalah alasan yang masuk akal. Tetapi seorang penyuluh pertanian tidak boleh menyerah begitu saja. Ia adalah seorang profesional yang harus kreatif, inovatif dan banyak inisiatif. Media penyuluhan pertanian tidak harus selalu canggih, namun dapat juga dikembangkan sendiri oleh penyuluh pertanian, dalam hal ini diharapkan pimpinan hendaklah cepat tanggap.
Keenam, kebiasaan menikmati ceramah/bicara. Metode penyuluhan pertanian berupa ceramah adalah hal yang paling enak dan mudah, karena berbicara itu memang nikmat. Inilah kebiasaan yang sulit dirubah. Seorang penyuluh pertanian cenderung mengulang cara para pendahulunya. Hal yang harus dipertimbangkan dalam pembelajaran pada proses penyuluhan pertanian adalah kepentingan mereka yang sedang belajar, bukan kepuasan penyuluh pertanian itu semata.
Ketujuh, kurangnya penghargaan dari atasan. Kurangnya penghargaan dari atasan, mungkin juga adalah alasan yang masuk akal. Sering terjadi bahwa penyuluh pertanian yang menyuluh dengan media penyuluhan pertanian yang dipersiapkan secara baik, kurang mendapatkan penghargaan dari pimpinannya. Tidak adanya reward bagi penyuluh pertanian sering menyebabkan yang bersangkutan menjadi “malas”; sebab selama ini tidak ada perbedaan perlakuan bagi penyuluh pertanian yang menggunakan media penyuluhan pertanian dibandingkan dengan penyuluh pertanian yang menyuluh dengan tidak menggunakan media penyuluhan pertanian (metode ceramah/bicara saja).

Peran Penyuluh Pertanian Dalam Penyuluhan Pertanian Partisipatif

Pembelajaran partisipatif pada intinya dapat diartikan sebagai upaya penyuluh pertanian untuk mengikut-sertakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam kegiatan penyuluhan, yaitu dalam tahap perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program.
Pembelajaran partisipatif, atau teknik partisipatif, dilandasi oleh suatu pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki pengalaman yang cukup kaya – untuk bisa diolah menjadi materi penyuluhan pertanian. Pembelajaran partisipatif, tentu bukan sekedar teknik, melainkan suatu pendekatan atau bahkan paradigma baru yang meninggalkan paradigma lama yang bersifat sistem bank.
Metode pembelajaran atau dalam istilah Knowles, “format pembelajaran” diartikan sebagai patokan umum, oleh karena itu bisa dikatakan bahwa metode pembelajaran partisipatif adalah suatu patokan umum yang diterapkan dalam penyuluhan pertanian partisipatif. Ahli lain seperti Vemer mengklasifikasikan metode pembelajaran ke dalam tiga kategori, yaitu : metode pembelajaran perorangan (Individual Methods), metode pembelajaran kelompok (Group Methods) dan metode pembelajaran pembangunan masyarakat (Community Methods). Jelas disini, bahwa metode merupakan implementasi dari prinsip-prinsip komunikasi.
Menurut paradigma behavioristik, belajar merupakan transmisi pengetahuan dari expert ke novice. Berdasarkan konsep ini, peran penyuluh pertanian adalah menyediakan dan menuangkan informasi sebanyak-banyaknya kepada sasaran penyuluhan. Penyuluh pertanian mempersepsikan dirinya berhasil dalam pekerjaannnya apabila dapat menuangkan pengetahuan sebanyak-banyaknya ke sasaran penyuluhan, dan mereka dipersepsi berhasil apabila tunduk dalam menerima pengetahuan yang dituangkan penyuluh pertanian kepada mereka. Dapat dikatakan bahwa persepsi semacam itu bersifat indoktrinasi, sehingga akan berdampak pada “penjinakan kognitif” sasaran penyuluhan, menghalangi perkembangan kreativitas mereka, dan memenggal peluangnya untuk mencapai higher order thinking.
Akhir-akhir ini, konsep belajar didekati menurut paradigma konstruktivisme yang berpendapat, bahwa belajar merupakan hasil konstruksi peserta pelatihan itu sendiri sebagai hasil interaksinya terhadap lingkungan belajar. Pengkonstruksian pemahaman dalam even belajar dapat melalui proses asimilasi atau akomodasi, karena merupakan usahanya untuk menyempurnakan atau merubah pengetahuan yang telah ada di benaknya (Heinich, et al., 2002).
Pengetahuan yang telah dimiliki sering pula diistilahkan sebagai prakonsepsi. Proses asimilasi terjadi apabila terdapat kesesuaian antara pengalaman baru dengan prakonsepsi yang dimiliki sasaran penyuluhan. Sedangkan proses akomodasi adalah suatu proses adaptasi, evolusi, atau perubahan yang terjadi sebagai akibat pengalaman baru yang tidak sesuai dengan prakonsepsinya.
Tinjauan filosofis, psikologi kognitif, psikologi sosial, dan teori sains sepakat menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan (Dole dan Sinatra, 1998); sehingga sasaran penyuluhan itu sendiri yang melakukan perubahan tentang pengetahuannya, sedangkan peran penyuluh pertanian adalah sebagai fasilitator, mediator, dan pembimbing. Jadi penyuluh pertanian hanya dapat membantu proses perubahan pengetahuan sasaran penyuluhan melalui perannya menyiapkan scaffolding dan guiding, sehingga dapat mencapai tingkatan pemahaman yang lebih sempurna dibandingkan dengan pengetahuan sebelumnya. Penyuluh pertanian menyiapkan tangga yang efektif, tetapi mereka sendiri yang memanjat melalui tangga tersebut untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam.
Berdasarkan paradigma konstruktivisme tentang belajar tersebut, maka prinsip media penyuluhan pertanian menempati posisi cukup strategis dalam rangka mewujudkan kegiatan belajar secara optimal yang merupakan salah satu indikator untuk mewujudkan hasil belajar sasaran penyuluhan yang optimal pula; yang juga merupakan salah satu cerminan hasil penyuluhan yang berkualitas, yang memerlukan sumber daya penyuluh pertanian yang mampu berperan secara profesional dalam lingkungan penyuluhan maupun masyarakat.
Dalam era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dewasa ini, profesionalisme penyuluh pertanian tidak cukup hanya dengan kemampuan membelajarkan sasaran penyuluhan, tetapi juga harus mampu mengelola informasi dan lingkungan untuk memfasilitasi kegiatan belajarnya. Dampak yang terjadi dalam proses pembelajaran adalah diperkayanya sumber dan media penyuluhan pertanian, seperti buku teks, modul, overhead transparansi, film, video, televisi, slide, dan sebagainya.
Penyuluh pertanian yang profesional dituntut mampu memilih dan menggunakan berbagai jenis media penyuluhan pertanian yang ada di sekitarnya. Konsep lingkungan meliputi tempat belajar, metode, media, sistem penilaian, serta sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mengemas penyuluhan dan mengatur bimbingan belajar sehingga memudahkan sasaran penyuluhan.
Dalam pembelajaran yang dilakukan pada penyuluhan pertanian yang partisipatif, penyuluh pertanian lebih banyak berperan sebagai pembimbing dan pendorong bagi sasaran penyuluhan untuk melakukan kegiatan pembelajaran sehingga mempengaruhi terhadap intensitas peranannya dalam penyuluhan itu. Menurut Knowles dan Cronne, peranan penyuluh pertanian mencakup menciptakan dan mengembangkan situasi kegiatan belajar partisipatif, menekankan peranan sasaran penyuluhan, dan dituntut agar mampu menyusun dan mengembangkan strategi penyuluhan pertanian yang partisipatif.
Pada awal pembelajaran, intensitas peran penyuluh pertanian sangat tinggi yaitu untuk menyajikan berbagai informasi materi penyuluhan pertanian, memberikan motivasi serta memberikan bimbingan kepada sasaran penyuluhan dalam melakukan pembelajaran, tetapi perannya makin lama makin menurun karena digantikan oleh peran yang sangat tinggi dari sasaran penyuluhan untuk berpartisipasi dalam pembelajaran secara maksimal.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran antara lain : (1) menciptakan suasana yang mendorong peserta pelatihan siap belajar; (2) membantu sasaran penyuluhan menyusun kelompok, agar siap belajar dan membelajarkan; (3) membantu sasaran penyuluhan untuk mendiagnosis dan menemukan kebutuhan belajarnya; (4) membantu sasaran penyuluhan menyusun tujuan belajarnya; (5) membantu sasaran penyuluhan merancang pola-pola pengalaman belajar; (6) membantu sasaran penyuluhan melakukan kegiatan belajarnya; dan (7) membantu sasaran penyuluhan melakukan evaluasi diri terhadap proses dan hasil belajar.

Penutup

Media dapat didefinisikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima, berarti merupakan salah satu komponen dalam proses komunikasi, yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikan, dapat pula dikatakan bahwa proses pembelajaran merupakan proses komunikasi yang mengandung lima komponen komunikasi, yaitu : (1) penyuluh pertanian sebagai komunikator; (2) bahan atau materi penyuluhan pertanian; (3) media penyuluhan pertanian; (4) sasaran penyuluhan sebagai komunikan, dan (5) tujuan penyuluhan pertanian itu sendiri.
Media penyuluhan pertanian merupakan alat bantu bagi seorang penyuluh pertanian dalam proses belajar mengajar pada suatu kegiatan penyuluhan pertanian, sekaligus menjadi alat komunikasi dalam menyampaikan pesan/isi materi penyuluhan pertanian agar tujuan penyuluhan itu dapat tercapai secara efektif, karena penyuluh pertanian bukan satu-satunya sumber pembelajaran namun menjadi salah satu sumber penting sebagai pengelola proses belajar mengajar; sedangkan media penyuluhan pertanian sebagai bagian integral yang mampu mengatasi berbagai hambatan dalam proses komunikasi, menghindari adanya keterbatasan fisik dalam ruang, menggugah sifat pasif sasaran dan mampu menyamakan pengamatan sasaran.
Efektivitas media dapat diukur dari seberapa banyak terjadi interaksi diantara keduanya melalui media penyuluhan pertanian yang dipergunakan. Menggunakan media penyuluhan pertanian dalam proses belajar mengajar haruslah memahami betul ciri-ciri (karakteristik) dari media yang digunakannya, tidak semua media dapat digunakan dalam suatu proses penyuluhan dan tidak ada suatu media pun yang dapat sepenuhnya menggantikan kedudukan dan peran seorang penyuluh pertanian dalam proses belajar mengajar pada kegiatan penyuluhan pertanian.
Media penyuluhan pertanian mempunyai kelebihan dalam hal meningkatkan kemampuan fiksatif, kemampuan manipulatif, dan kemampuan distributif. Penggunaan media, pada prinsipnya berpedoman kepada landasan antara lain landasan filosofis, psikologis, teknologis, dan empiris.
Pembelajaran partisipatif, ádalah sebuah upaya penyuluh pertanian untuk mengikutsertakan sasaran penyuluhan dalam kegiatan pembelajaran yaitu dalam tahap perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program, yang dilandasi oleh pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki pengalaman yang cukup kaya – untuk bisa diolah menjadi bahan atau materi penyuluhan pertanian.
Pembelajaran partisipatif memiliki maksud dasar untuk mengubah pola hubungan yang ada antara sasaran penyuluhan dengan penyuluh pertanian, yang harus bersedia mengakui memerlukan belajar dari sasaran penyuluhan yang dihadapinya, dan demikian pula sebaliknya.
Salah satu proses penting yang layak dilalui adalah adanya pembaharuan model-model pembelajaran yang tidak hanya hendak mengoreksi cara mengajar, tetapi juga mengoreksi keseluruhan proses pembelajaran dalam kegiatan penyuluhan pertanian itu. Kesemuanya ini menuntut adanya kesediaan semua pihak untuk bersedia mengubah atau mentrasformasi pandangannya mengenai proses pembelajaran dalam penyuluhan pertanian.

Sumber Bacaan

Dole, J. A. & Sinatra, G. M. 1998. Reconceptualizing Change in the Cognitive Construction of Knowledge. Educational Psichologist : 33(2/3), 109-128.
Heinich, R., Molenda, M., Russell, J. D., & Smaldino, S.E. 2002. Instructional Media and Technology for Learning, 7th edition. Prentice Hall, Inc. New Jersey.
Ibrahim, H. 1997. Media Pembelajaran: Arti, Fungsi, Landasan Pengunaan, Klasifikasi, Pemilihan, Karakteristik OHT, Opaque, Filmstrip, Slide, Film, Video, TV, dan Penulisan Naskah Slide. Bahan Sajian Program Pendidikan Akta Mengajar III-IV. FIP-IKIP Malang.
----------. 1999. Pemanfaatan dan Pengembangan Media Slide Pembelajaran. Bahan Ajar. Disajikan dalam Pelatihan Produksi dan Penggunaan Media Pembelajaran Bagi Dosen MDU Universitas Negeri Malang, 8 Februari s.d 6 Maret 1999.
Knowles, M. 1975. Self Directed Learning. Follet Publishing Company. Chicago.
Sudjana, D. 1993. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif Dalam Pendidikan Luar Sekolah. Nusantara Press. Bandung.
 

No comments:

Post a Comment